10 Resep Sukses Bangsa Jepang
Setelah Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak terkena bom atom sekutu
(Amerika), Jepang pelan tapi pasti berhasil bangkit dan baru-baru terjadi gempa yang sangat dasyat sehingga terjadi Tsunami. Mau tidak mau harus
diakui saat ini Jepang bersama China dan Korea Selatan sudah menjelma
menjadi macan Asia dalam bidang teknologi dan ekonomi. Kali
ini, saya mencoba merumuskan 10 resep yang membuat bangsa Jepang bisa sukses
seperti sekarang. Tentu rumusan ini di beberapa sisi agak subyektif, hanya dari pengalaman hidup, studi, bisnis dan bergaul dengan orang
Jepang di sekitar perfecture Saitama, Tokyo, Chiba, Yokohama. Intinya kita
mencoba belajar sisi Jepang yang baik yang bisa diambil untuk membangun
republik ini. Kalau ditanya apakah semua sisi bangsa Jepang selalu baik, tentu
jawabannya tidak. Banyak juga budaya negatif yang tidak harus kita contoh
1. KERJA KERAS
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa bangsa Jepang adalah pekerja keras. Rata-rata jam
kerja pegawai di Jepang adalah 2450 jam/tahun, sangat tinggi dibandingkan
dengan Amerika (1957 jam/tahun), Inggris (1911 jam/tahun), Jerman (1870
jam/tahun), dan Perancis (1680 jam/tahun). Seorang pegawai di Jepang bisa
menghasilkan sebuah mobil dalam 9 hari, sedangkan pegawai di negara lain
memerlukan 47 hari untuk membuat mobil yang bernilai sama. Seorang pekerja
Jepang boleh dikatakan bisa melakukan pekerjaan yang biasanya dikerjakan
oleh 5-6 orang. Pulang cepat adalah sesuatu yang boleh dikatakan “agak
memalukan” di Jepang, dan menandakan bahwa pegawai tersebut termasuk “yang
tidak dibutuhkan” oleh perusahaan. Di kampus, professor juga biasa pulang malam
(tepatnya pagi
), membuat mahasiswa
nggak enak pulang duluan. Fenomena Karoshi (mati karena kerja keras) mungkin
hanya ada di Jepang. Sebagian besar literatur menyebutkan bahwa dengan kerja
keras inilah sebenarnya kebangkitan dan kemakmuran Jepang bisa tercapai.
![;)](file:///C:\Users\user\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.gif)
2. MALU
Malu
adalah budaya leluhur dan turun temurun bangsa Jepang. Harakiri
(bunuh diri dengan menusukkan pisau ke perut) menjadi ritual sejak era samurai,
yaitu ketika mereka kalah dan pertempuran. Masuk ke dunia modern, wacananya
sedikit berubah ke fenomena “mengundurkan diri” bagi para pejabat (mentri,
politikus, dsb) yang terlibat masalah korupsi atau merasa gagal menjalankan
tugasnya. Efek negatifnya mungkin adalah anak-anak SD, SMP yang kadang bunuh diri,
karena nilainya jelek atau tidak naik kelas. Karena malu jugalah, orang
Jepang lebih senang memilih jalan memutar daripada mengganggu pengemudi
di belakangnya dengan memotong jalur di tengah jalan. Bagaimana mereka secara
otomatis langsung membentuk antrian dalam setiap keadaan yang membutuhkan,
pembelian ticket kereta, masuk ke stadion untuk nonton sepak bola, di halte
bus, bahkan untuk memakai toilet umum di stasiun-stasiun, mereka berjajar rapi
menunggu giliran. Mereka malu terhadap lingkungannya apabila mereka melanggar
peraturan ataupun norma yang sudah menjadi kesepakatan umum.
3. HIDUP HEMAT
Orang
Jepang memiliki semangat hidup hemat dalam keseharian. Sikap anti
konsumerisme berlebihan ini nampak dalam berbagai bidang kehidupan. Di masa
awal mulai kehidupan di Jepang, saya sempat terheran-heran dengan
banyaknya orang Jepang ramai belanja di supermarket pada sekitar jam 19:30.
Selidik punya selidik, ternyata sudah menjadi hal yang biasa bahwa supermarket
di Jepang akan memotong harga sampai separuhnya pada waktu sekitar setengah jam
sebelum tutup. Seperti diketahui bahwa Supermarket di Jepang rata-rata tutup
pada pukul 20:00. Contoh lain adalah para ibu rumah tangga yang rela naik
sepeda menuju toko sayur agak jauh dari rumah, hanya karena lebih murah 20 atau
30 yen. Banyak keluarga Jepang yang tidak memiliki mobil, bukan karena tidak
mampu, tapi karena lebih hemat menggunakan bus dan kereta untuk bepergian.
Termasuk saya dulu sempat berpikir kenapa pemanas ruangan menggunakan
minyak tanah yang merepotkan masih digandrungi, padahal sudah cukup dengan
AC yang ada mode dingin dan panas. Alasannya ternyata satu, minyak tanah lebih
murah daripada listrik. Professor Jepang juga terbiasa naik sepeda tua ke
kampus, bareng dengan mahasiswa-mahasiswanya.
4. LOYALITAS
Loyalitas
membuat sistem karir di sebuah perusahaan berjalan dan tertata dengan rapi.
Sedikit berbeda dengan sistem di Amerika dan Eropa, sangat jarang orang Jepang
yang berpindah-pindah pekerjaan. Mereka biasanya bertahan di satu atau dua
perusahaan sampai pensiun. Ini mungkin implikasi dari Industri di Jepang yang
kebanyakan hanya mau menerima fresh graduate, yang kemudian mereka latih dan
didik sendiri sesuai dengan bidang garapan (core business) perusahaan. Kota
Hofu mungkin sebuah contoh nyata. Hofu dulunya adalah kota industri yang sangat
tertinggal dengan penduduk yang terlalu padat. Loyalitas penduduk untuk tetap
bertahan (tidak pergi ke luar kota) dan punya komitmen bersama untuk
bekerja keras siang dan malam akhirnya mengubah Hofu menjadi kota makmur dan
modern. Bahkan saat ini kota industri terbaik dengan produksi kendaraan
mencapai 160.000 per tahun.
5. INOVASI
Jepang
bukan bangsa penemu, tapi orang Jepang mempunyai kelebihan dalam meracik temuan
orang dan kemudian memasarkannya dalam bentuk yang diminati oleh masyarakat.
Menarik membaca kisah Akio Morita yang mengembangkan Sony Walkman yang
melegenda itu. Cassete Tape tidak ditemukan oleh Sony, patennya dimiliki oleh
perusahaan Phillip Electronics. Tapi yang berhasil mengembangkan dan membundling
model portable sebagai sebuah produk yang booming selama puluhan tahun adalah
Akio Morita, founder dan CEO Sony pada masa itu. Sampai tahun 1995, tercatat
lebih dari 300 model walkman lahir dan jumlah total produksi mencapai 150 juta
produk. Teknik perakitan kendaraan roda empat juga bukan diciptakan orang
Jepang, patennya dimiliki orang Amerika. Tapi ternyata Jepang dengan inovasinya
bisa mengembangkan industri perakitan kendaraan yang lebih cepat dan murah.
Mobil yang dihasilkan juga relatif lebih murah, ringan, mudah dikendarai, mudah
dirawat dan lebih hemat bahan bakar. Perusahaan Matsushita Electric yang dulu
terkenal dengan sebutan “maneshita” (peniru) punya legenda sendiri dengan mesin
pembuat rotinya. Inovasi dan ide dari seorang engineernya bernama Ikuko Tanaka
yang berinisiatif untuk meniru teknik pembuatan roti dari sheef di Osaka
International Hotel, menghasilkan karya mesin pembuat roti (home bakery)
bermerk Matsushita yang terkenal itu.
6. PANTANG MENYERAH
Sejarah
membuktikan bahwa Jepang termasuk bangsa yang tahan banting dan pantang
menyerah. Puluhan tahun dibawah kekaisaran Tokugawa yang menutup semua akses ke
luar negeri, Jepang sangat tertinggal dalam teknologi. Ketika restorasi Meiji
(meiji ishin) datang, bangsa Jepang cepat beradaptasi dan menjadi fast-learner.
Kemiskinan sumber daya alam juga tidak membuat Jepang menyerah. Tidak hanya
menjadi pengimpor minyak bumi, batubara, biji besi dan kayu, bahkan 85% sumber
energi Jepang berasal dari negara lain termasuk Indonesia. Kabarnya
kalau Indonesia menghentikan pasokan minyak bumi, maka 30% wilayah Jepang
akan gelap gulita
Rentetan bencana
terjadi di tahun 1945, dimulai dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, disusul
dengan kalah perangnya Jepang, dan ditambahi dengan adanya gempa bumi
besar di Tokyo. Ternyata Jepang tidak habis. Dalam beberapa tahun berikutnya
Jepang sudah berhasil membangun industri otomotif dan bahkan juga kereta cepat
(shinkansen). Mungkin cukup menakjubkan bagaimana Matsushita Konosuke yang
usahanya hancur dan hampir tersingkir dari bisnis peralatan
elektronik di tahun 1945 masih mampu merangkak, mulai dari nol untuk membangun
industri sehingga menjadi kerajaan bisnis di era kekinian. Akio Morita juga
awalnya menjadi tertawaan orang ketika menawarkan produk Cassete Tapenya yang
mungil ke berbagai negara lain. Tapi akhirnya melegenda dengan Sony
Walkman-nya. Yang juga cukup unik bahwa ilmu dan teori dimana orang
harus belajar dari kegagalan ini mulai diformulasikan di Jepang dengan
nama shippaigaku (ilmu kegagalan). Kapan-kapan saya akan kupas lebih jauh
tentang ini ![:)](file:///C:\Users\user\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image002.gif)
![:)](file:///C:\Users\user\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image002.gif)
![:)](file:///C:\Users\user\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image002.gif)
7. BUDAYA BACA
Jangan
kaget kalau anda datang ke Jepang dan masuk ke densha (kereta listrik),
sebagian besar penumpangnya baik anak-anak maupun dewasa sedang membaca buku
atau koran. Tidak peduli duduk atau berdiri, banyak yang memanfaatkan waktu di
densha untuk membaca. Banyak penerbit yang mulai membuat man-ga (komik
bergambar) untuk materi-materi kurikulum sekolah baik SD, SMP maupun
SMA. Pelajaran Sejarah, Biologi, Bahasa, dsb disajikan
dengan menarik yang membuat minat baca masyarakat semakin tinggi. Saya
pernah membahas masalahkomik
pendidikan di
blog ini. Budaya baca orang Jepang juga didukung oleh kecepatan dalam proses
penerjemahan buku-buku asing (bahasa inggris, perancis, jerman, dsb). Konon
kabarnya legenda penerjemahan buku-buku asing sudah dimulai pada tahun 1684,
seiring dibangunnya institut penerjemahan dan terus berkembang sampai jaman
modern. Biasanya terjemahan buku bahasa Jepang sudah tersedia dalam
beberapa minggu sejak buku asingnya diterbitkan. Saya biasa membeli buku
literatur terjemahan bahasa Jepang karena harganya lebih murah daripada buku
asli (bahasa inggris).
8. KERJASAMA KELOMPOK
Budaya
di Jepang tidak terlalu mengakomodasi kerja-kerja yang terlalu bersifat
individualistik. Termasuk klaim hasil pekerjaan, biasanya ditujukan untuk tim
atau kelompok tersebut. Fenomena ini tidak hanya di dunia kerja, kondisi kampus
dengan lab penelitiannya juga seperti itu, mengerjakan tugas mata kuliah
biasanya juga dalam bentuk kelompok. Kerja dalam kelompok mungkin salah satu
kekuatan terbesar orang Jepang. Ada anekdot bahwa “1 orang professor
Jepang akan kalah dengan satu orang professor Amerika, hanya 10 orang professor
Amerika tidak akan bisa mengalahkan 10 orang professor Jepang yang
berkelompok”. Musyawarah mufakat atau sering disebut dengan “rin-gi” adalah
ritual dalam kelompok. Keputusan strategis harus dibicarakan dalam “rin-gi”.
9. MANDIRI
Sejak
usia dini anak-anak dilatih untuk mandiri. Irsyad, anak saya yang paling gede
sempat merasakan masuk TK (Yochien) di Jepang. Dia harus membawa 3 tas besar
berisi pakaian ganti, bento (bungkusan makan siang), sepatu ganti, buku-buku,
handuk dan sebotol besar minuman yang menggantung di lehernya. Di Yochien
setiap anak dilatih untuk membawa perlengkapan sendiri, dan bertanggung jawab
terhadap barang miliknya sendiri. Lepas SMA dan masuk bangku kuliah hampir
sebagian besar tidak meminta biaya kepada orang tua. Teman-temen seangkatan
saya dulu di Saitama University mengandalkan kerja part time untuk biaya
sekolah dan kehidupan sehari-hari. Kalaupun kehabisan uang, mereka
“meminjam” uang ke orang tua yang itu nanti mereka kembalikan di bulan
berikutnya.
10. JAGA TRADISI
Perkembangan
teknologi dan ekonomi, tidak membuat bangsa Jepang kehilangan tradisi dan
budayanya. Budaya perempuan yang sudah menikah untuk tidak bekerja
masih ada dan hidup sampai saat ini. Budaya minta maaf masih
menjadi reflek orang Jepang. Kalau suatu hari anda naik sepeda di Jepang dan
menabrak pejalan kaki , maka jangan kaget kalau yang kita tabrak malah yang
minta maaf duluan. Sampai saat ini orang Jepang relatif menghindari berkata
“tidak” untuk apabila mendapat tawaran dari orang lain. Jadi kita harus
hati-hati dalam pergaulan dengan orang Jepang karena ”hai” belum tentu
“ya” bagi orang Jepang
Pertanian
merupakan tradisi leluhur dan aset penting di Jepang. Persaingan keras karena
masuknya beras Thailand dan Amerika yang murah, tidak menyurutkan langkah
pemerintah Jepang untuk melindungi para petaninya. Kabarnya tanah yang
dijadikan lahan pertanian mendapatkan pengurangan pajak yang signifikan,
termasuk beberapa insentif lain untuk orang-orang yang masih bertahan di dunia
pertanian. Pertanian Jepang merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.
![;)](file:///C:\Users\user\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.gif)
Mungkin
seperti itu 10 resep sukses yang bisa saya rangkumkan. Bangsa Indonesia punya
hampir semua resep orang Jepang diatas, hanya mungkin kita belum mengasahnya
dengan baik. Di Jepang mahasiswa Indonesia termasuk yang unggul dan bahkan
mengalahkan mahasiswa Jepang. Orang Indonesia juga memenangkan berbagai award
berlevel internasional. Saya yakin ada faktor “non-teknis” yang membuat
Indonesia agak terpuruk dalam teknologi dan ekonomi. Mari kita bersama mencari
solusi untuk berbagai permasalahan republik ini. Dan terakhir kita harus tetap
mau belajar dan menerima kebaikan dari siapapun juga.
Komentar
Posting Komentar